Kakak Ikhlas Dek
Tiga tahun lalu,
berita kehadiranmu begitu membuat aku bahagia. Aku yang saat itu sedang pada
detik-detik menghadapi ujian akhir yang dengan berbagai masalah baru yang
kuoendam sendiri itu yang tak jarang masalah itu membuat dada terasa sering
sesak hingga menangis pun tanpa ada air mata. Mungkin saat itu aku masih kuat,
atau memang beban hidup hanya itu saja. Tapi, berita kehadiranmu itu tiba-tiba
membuat segalanya hilang. Ada malaikat baru di rumahku.
Dari psantren
itu, aku memutuskan untuk pulang dan meneruskan salah satu impian diantara dua
pilihan impianku. Mungkin ini sudah mnejadi jalanku, bermodalkan tekad yang
penting aku memutuskan untuk tetap berjuang dengan impianku. Kau malaikat kecil
itu semakin tumbuh, tapi dalam perkembanganmu ada sesuatu yang lain, tumbuhmu
tidak seperti anak-anak lain, kau cenderung lambat. Dan mulai orang-orang
menvonismu macam-macam termasuk vonis yang paling ditakuti oleh seorang kakak.
“Hafidh mengidap
Autis..”
“Dia anak yang
berkebutuhan khusus..”
Tentu, rasanya
bagai dihujam ratusan batu kerikil tajam menghunus ujung hatiku. Aku tidak
terima dengan vonis itu, tidak bahkan tidak mau terima. Aku bersikeras
“Hafidhku tidak Autis, dia baik-baik saja, hanya dia sedikit lambat saja, hanya
dia butuh sedikit perhatian saja, sedikit saja pembelajaran dia akan baik-baik
saja, aku yakin itu.
Apa jadinya jika
aku harus mempunyai dua orang adik yang keduanya sama-sama berkebutuhan khusus,
Fadlul sang abang, adik yang begitu berhati malaikat itu mengindap tuna runggu,
bisu, tidak bisa mendengar dan berbicara. Kakak yang kadang sulit diajak
bersosialisasi, bahkan ada orang-orang yang sempat mengatakan dia hampir
seperti anak idiot, tapi itu hanya kata-kata orang yang sok tahu saja. Buktinya
kakakku tidak begitu, dia cantik, manis, rajin dan pintar, dia tidak seperti
yang mereka tuduhkan.
Tidak mungkin
rasanya aku harus mendapatkan sang malaikat kecil itu juga berkebutuhan khusus,
tapi hari ke hari aku memantau perkembangannya. Perkembangannya agak
lambat,dokter pun mengaktakan “Dia belum autis, tapi hampir mendekati autis..”
perasaanku campur aduk mengetahui vonis dokter itu, aku berkesimpulan jika
malaikat kecilku bisa disembuhkan.
Hingga beragama
cara aku usahakan untuknya. Berusaha semampuku, sekuat tenagaku, untuk membuat
dia lepas dari vonis itu. termasuk aku mulai mencari informasi tentang
menghadpai anak seperti itu di Internet termasuk di satu tahun terakhir, aku
masuk di grub-grub pelatihan untuk bunda-bunda dengan perkembangan balitanya,
dan dari sana aku mengetahui jika Hafidhku menderita Delay speak dan bagaimana cara untuk membantu menyembuhkannya.
Aku mulai
bereaksi di sela-sela kesibukanku kuliah dan berimajinasi. Melatihnya, sedikit
demi sedikit, tidak kuharap dari ayah dan Ibu yang sepertinya ikut saja seperti
air yang mengalir, tidak juga kepada abang yang hanya sekali-kali pulang
memerhatikan perkembangan Hafidh, aku harus berusaha kuat seperti sendiri,
kadang-kadang aku bagai orang gila yang sering teriak-teriak dan berbicara
dengan berbagai macam nada kepada sang malaikat kecil itu.
Hari demi hari,
mungkin faktor umurnya yang juga semakin bertambah, Hafiz mulai sedikit bisa
mengucapkan beberapa kata-kata di umur balita seusianya sudah bisa merespon
kata-kata pembicaraan dari orang lain. Dia juga seperti susah untuk dibuat
fokus dengan hal yang harusnya di fokuskan. Matanya sering menerawang ke atas
jika terlalu diajak untuk fokus, tapi tidak sesering anak yang divonis itu
lainnya dan lidahnya sering di keluarkan. Tapi akan segera dinormalkan dan
dimasukkan ke dalam ketika aku menyuruhnya untuk mengontrol lidahnya.
Tahun ini dia
sudah berumur 3,5 Tahun. Sedikit perkembangan terlihat meski perkembangannya
tidak cepat, tapi aku bersyukur Allah kirimkan malaikat kecil itu untukku,
meski beberapa orang yang sering aku temui mengatakan dia seperti anak idiot,
tapi orang itu tidak tahu saja, Hafidhku tidak seidiot yang mereka bayangkan.
Dia paham banyak hal, meski tidak utuh, dia pandai azan, pandai semangat dengan
takbir, shalat dan berzikir dan pandai sekali membangunkanku saat tidur.
Aku yakin anak
itu bisa menjadi normal, dan aku pun tidak akan marah jika orang menganggap dia
termasuk anak yang berkebutuhan khusus, aku sudah mulai berdamai dengan
keadaan. Aku bersyukur dengan hadirnya, mungkin itu adalah ladang pahala
bagiku, bagi keluargaku, sa;ah satu sumber kebahagiaan dan rezeki untuk
keluargaku.
Kakak sudah
ikhlas dek, kakak yakin tidak ada yang sia-sia dari kuasa dan Kehendak Allah,
Allah lebih sayang adek dan kakak akan terus berusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar