Senin, 12 Maret 2018

Rindu untuk Sebuah Tempat yang Dulu

Panas matahri yang baru, musim yang berganti tanpa meninggalkan jejak.Saat semerbak wangi bunga telah berganti, dan milyaran daun-daun dan ranting baru telah tumbuh, semua berlalu seolah tanpa meninggalkan jejak, tapi hanya menyisakan secercah kenangan. Kenangan yang sering membuat kita lupa, jika itu hanyalah sebuah bentuk kenangan, kita begitu jauh dengannya, tidak bisa kembali dan terhapus, tapi mengenang sering membuat kita senang, meski di dalamnya ada juga duka pahit, tetapi duka dalam kenagan tidak selamanya luka pada saat ini dan selalu ada rindu dalam sebuah kenangan.

Dan iya, hari ini aku sedang rindu, rindu pada masa tiga tahun yang lalu, aku serasa ingin kembali ketempat rinduku itu, tapi sepertinya tidak bisa untuk hari ini. Padahal perayaan itu adalah moment yang tepat, tapi apalah dayaku, mungkin belum waktunya. 

Aku berharap waktunya itu akan segera datang, dimana saat itu aku menjadi diriku yang aku inginkan, aku mungkin menyimpan sesuatu ketika melihat mereka dulu yang sama-sama bersamaku itu telah menemukan dirinya, dan aku sedang memperjuangkannya. Aku rindu tempat itu, tapi entah tempat itu juga merindukannku? Entahlah. 

Tapi, rindu atau tidaknya tempat itu kepadaku, aku akan segera kembali dengan diriku yang lebih terang, dengan diriku yang sudah menemukan diriku. Bukan, untuk menyombangkan diri, berbangga-bangga tapi hanya untuk membuktikan, memperlihatkan cerita perjuangan itu ada, dan aku juga merasakannya. 

Apapun, aku yakin bersama Allah dari Allah untuk Allah akan selalu datang kepadaku, karena aku hidup untuk Ridha Allah dalam sisa-sisa masa yang kupunya.

Minggu, 11 Maret 2018

Bersama Minggu dan Ngantuk

Ngantuk, ia satu keadaan yang sedang aku alami sekarang, kepalaku pusing juga dengan perasaan tadi takut karena ayah marah dan sedikit berteriak yang pada kenyataannya membangunkan aku dari tidur siangku yang singkat. Eum.. Kali ini aku harus berterima kasih kepada marah ayah itu yang berhasil membuatku untuk bangun dan mulai meracik kata kembali diatas laptop. menyambung cerita semalam yang belum selesai.

Minggu sore yang cerah, langit biru bersama kawanan burung yang menari ceria diantara kemayunya daun-daun hijau yang ditiup angin, udaranya menyentuh bulir-bulir hatiku, Maret sudah hampir separuh dijalani, tapi semuanya seperti masih biasa-biasa saja. Hingga aku seperti merasa takut waktu yang berlalu.

Bosan. Mungkin tidak, tapi sedikit ragu mungkin ia, tapi bukankah aku pernah membaca kalau "Jangan dikalahkan oleh dua keadaan itu, lawan dan tetap menulis ketika mereka menghampiri, hingga mereka bosan dan lelah menghampiri" dan sekarang aku sedang menuliskannya mereka. Aku harap mereka akan bosan menemuiku.

Rabu, 07 Maret 2018

Perasaan Bersama Hujan

Hujan..
Pagi ini hujan lagi, masih seperti kemarin, hujan adalah rintik irama yang membuat kita merindu, terjebak dalam nostalgia dan harapan-harapan, hujan selalu membuat kita mampu untuk lama-lama menatapnya. aroma tanah yang khas seolah bercerita, ada berjuta rasa disina. Hujan bulan maret dengan beragam macam harapan disana.

Basah, karena rindu yang masih tak kunjung menemui titik temu dan harapan yang masih diangan menjadi alasan, untuk lama-lama menikmati hujan, bagaikan hujan mempunyai jawaban atas segala gundah itu. 

Disana ada ribuan hari untuk menanti, ribuan hari yang telah terlewati dengan bermacam-macam ragam ironi, terjebak dalam pergantian tahun yang berganti-ganti, berharap kembali untuk memperbaiki, apa-apa yang sempat ditemui, apa-apa yang telah terlewati. 

Dan hujan kali ini juga mampu sebagai penyapu rindu, ridu itu rindu yang tidak normal, rindu aneh. Rindu tanpa titik temu, sosoknya, yang sudah ketemukan namun harus kurelakan pergi mengalir bersama hujan, tapi masih kusisakan ia dengan harapan. Aku ingin mengenalnya lagi, meski bukan dengan perasaan yang sama, maksudku bukan cinta tapi rindu, tidak dengan rindu yang menebar seperti dulu, rindu itu bayang-bayang. Semu dan aku tidak ingin menetap pada dunia bayangan, cukup. Aku hanya ingin dunia nyata. Aku ingin jatuh cinta di dunia nyata.

Cinta, masih dengan kata yang tidak ku mengerti, dan kenapa aku belum bisa jatuh cinta? Saat aku benar-benar ingin jatuh cinta, jatuh cinta kepada seseorang yang akan hadir di masa depanku, jatuh cinta dengan perasaan yang berjuta rasanya, jatuh cinta yang bisa membawaku terbang menuju cinta Tuhanku. Aku ingin jatuh Cinta dengan cinta yang disukai Rabb-ku.

Tapi, pernah kudengar jatuh cinta itu tidak bisa direncanakan, dia perasaan yang natural dan aku adalah yang menunggu kapan perasaan itu hadir pada masa yang telah ditakdirkan indah untukku. harapku dalam doaku, semoga masa itu segera Allah hadirkan dalam hidupku.

Senin, 05 Maret 2018

Cerita Bersama Pagi (Istiqamah Bersama Pagi)

Suasana masih begitu dingin, membuat menggigil, aku memeluk tubuhku. Meski gelap hampir berganti dengan cahaya terang yang masih remang-remang, sepi masih begitu begitu terasa di sekitar area rumahku, masih terlalu pagi mungkin bagi mereka. Jam menunjukkan angka 5:5, hanya suara pengajian di balai Tgk Razali yang terdengar mengelegar, suara khas alunan subuh yang sudah ada di kampungku, aku menyukainya. Setidaknya, ketakutanku pada pada kesepian dalam pagi sedikit terbantu untuk segera berwudhuk. Maklum sumur tempat aku berwudhuk masih begitu gelap, gelapsekali dan letaknya di luar rumah pula. Tapi, tidak apa, bukankah itu bukan alasan ku untuk beristiqamah menyaksikan matahari berkemas menyiapkan hari ini dan melantunkan irama terindah untuknya agar kami semangat dalam nmenjalani hari ini, menjadikan hari ini lebih baik dari hari yang lalu, meskipun ada aku selipkan doa, Ya Allah,  berilah Rezeki kepadaku dan keluargaku agar bisa memudahkan aku, agar gelap tidak sedikit pun menjadi alasanku untuk selalu menyaksikan pagi.

Jam sekarang sudah hampir menunjukkan pukul 6:45, aku masih dengan balutan atribut shalatku, setelah membaca ayat-ayat indah itu, dan tertidur sebentar sambil duduk, aku meraih laptopku, asebanarnya aku ingin melanjutkan cerpen kemarin, tapi rasanya urung karena aku tidak yakin dengan ceritaku. Oke, aku pikir, nanti malam akan kuyakinkan.

Pagi hampir sempurna, subuh hampir hilang, hari ini adalah perdana bagiku untuk masuk kuliah, hari selasa, padahal senin adalah hari pertama, tapi karena kemarin Vio mogok, aku melewatkannya. Ah,  ada saja alasan untuk menghentikan rencana kan? Dan iya, tidak apa-apa, aku bisa mengisinya di rumah, lagian kuliah perdana itu palingan cuman mondar-mandir aja gak jelas.

Dan untuk pagi, aku ingin selalu menyaksikanmu, doakan aku selalu agar aku mengiring persiapanmu dengan lantunan-lantunan ayat-ayat suci, zikir-zikir penawar dan cerita diatas laptopku, karena aku bukanlah orang yang mampu tegar dan istiqamah, tanpa doa dari semua, Semoga Allah mengijabah. Meistiqamahkan aku dalam pagi, menjadikan nyata setiap cita-citaku, impianku, keinginanku dan keinginan orang-orang yang menyayangiku juga semuanya yang mempunyai keinginan.

"Istiqamahkan aku dalam jalan RidhaMu Ya Allah"

Minggu, 04 Maret 2018

Dear Ayah








Ayah memang selalu begitu, seringkali jalan pikirannya tidak dapat aku mengerti bagaimana. Aku bukanlah tipe anak gadis yang rewel dan manja, karena percuma, aku manjanya sama siapa, ayah tidak pernah memanjakan aku, menuruti apa yang aku inginkan bahkn dari yang terkecil pun. Misalnya, aku ingin punya tas yang dijahit oleh ayah dulu, dijahit oleh tangan ayah,sewaktu aku berumur sembilan tahun, tapi ayah begitu berat untuk mengabulkannya, karena aku benar-benar menginginkannya aku mencari cara agar ayah bisa tahu seberapa besar aku ingin tas kain yang dijahitnya itu.

Hingga subuh itu, aku berpura-pura mengigau, ayah semalaman tidak tidur, karena jika orderan bajunya terlalu banyak bahkan dia jarang sekali tidur malam. Menyelesaika baju orderan itu, semula aku pahamm tapi aku tahu, bagi ayah yang begitu mahir memaiknaan mesin dan benang itu, membuat tas itu tidak butuh waktu berjam-jam, tapi hampir sebulan ayah tidak pernah membuat barang sesederhana itu untukku, hingga akhirnya pura-pura ngingau dengan menyebutkan tas kain itu berhasil, baru ayah membuatkannya untukku, hanya sesederhana itu, aku begitu bahagia.

Jika aku punya keinginan tentang suatu barang yang ada nilainya, aku jarang sekali meminta, karena aku tahu ayah tidak akan membelinya, aku sering mengira ayah tidak punya uang, tapi dari kecil aku sudah mulai jel, membaca keadaan, membaca situasi berapa peghasilan keluar dan masuk,dan tidak jarang aku mengecek dompet ayah, yang isinya tebal. Aku heran kemana uang itu dibawa ayah? Aku tidak berani bertanya, aku diam, aku tumbuh menjadi orang yang menyimpan rasa, tidak terbuka. 

Hingga aku tahu, ayah tidak mebawa kemana-mana uang itu, ternyata ayah bukanlah orang yang pandai memanagement uang, hingga uang itu habis terhambur-hamburkan. Aku kecewa, tapi aku tidak bersuara, dirumah sudah cukup aku seirng dimarahi tentang banyak hal yang aku kira sepele, ayah sering main fisik dulu, hingga aku tumbuh dalam ketakutan, jika ayah akan datang dan membawa ranting itu.

Tapi aku tahu ayah. Dia hero ku, aku harus mengerti dia, meskipun sering aku tidak bisa mengerti, termasuk ketika tiga tahun yang lalu saat aku baru SMA, saat aku sadar tidak ada harapan untukku untuk kuliah, kondisi ayah dan keunagan keluarga sangat mustahil, tapi aku lagi-lagi melirik kesempatan, seorang guru begitu menyemangatiku, katanya ada beasiswa, tapi ayah tidak percaya, katanya beasiswa itu tidak cukup, aku menyakinkannya,  tapi jangankan yakin, malah ayah membuat semangat jatuh tertimpa reruntuhan tembok yang beigitu berat. Aku hilang arah, ayah menjatuhkanku terhempas.

Dan saat impian untuk kuliah itu benar-benar aku kubur, dan aku ingin menuruti tawannya untuk bisa mondok di pesatren temannya, ayah marah, aku semakin tidak mengerti, aku disuruh tinggal di pesantren yang sama, menetap disana  yang sebenarnya keadaannya begitu sakit saat itu, banyak hal yang tidak bisa kujelaskan, suasananya, tempatnya benar-benar membuatku sulit untuk bertahan disana saat itu. Aku bingung.

Jika seandainya mereka tahu kenapa aku begitu ingin kuliah, padahal aku sebanrnya begitu ingin melanjutkan pendidikan ku ke Mudi dan dayah Darussalam tempat ulama kharismatik Aceh itu, itu karena aku tidak melihat sedikitpun peluang untuk kesana, dan aku hanya menyimpan keinginan itu dalam-dalam hingga sekarang, dan aku hanya melihat saat itu adalah pilihan untuk kuliah dengan beasiswa, aku ingin pintar, aku ingi  bisa membahagiakan ayah dan Mamak, aku ingin bisa membahgaikan keluargaku, aku hanya ingin di dukung, dan dimnegerti dan aku tidak akan meminta uang karena aku percaya rezeki itu ada dimana-mana.

Dan saat sekarang Allah telah mentakdirkan aku untuk kuliah, perlahan aku melihat ada yang berubah, sedikit demi sedikti berubah, tapi aku tidak juga mengerti tentang jalan pikiran ayah aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Mamak, atau kau saja yang susah mengerti mereka.

Saat aku ingin terbang, saat aku ingin belajar lagi, saat aku hanya meminta doa restu, saat aku yang hanya didukung, saat aku yang ingin berbakti tapi harus kembali sakit, kenapa, kenapa mereka tidak pernah mengenal siapa aku? Atau aku yang tidak pernah mengenal siapa mereka, mereka ingin aku lebih tapi mereka menahanku.

Bukan, bukan maksudku aku menentang, hanya sudah berapa kali aku kode, aku katakan, jangan seperti itu caranya, justru seperti itu akan membuatku jadi hancur, jadi semakin membangkan. 

Dear ayah, adalah heroku, meski demikan aku adalah tetap beruntung memilikimu, aku menyayangimu karena Allah, dan pada dasarnya aku tidak mengiginkan banyak hal, aku hanya ingin pintar, dan berguna bagi kalian, bagi setiap orang yang aku temui, karena Allah.

Allah bukankan pintu hatiku agar aku mampu menerima segala ketentuanMu, dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Serta aku memohon kepadamu Tuhan yang maha Rahman Rahim bukankan pintu hati kedua orang tua hamba dan jadikan hamba sebagai anak yang engkau mampukan untuk membahagiakan kedua orang tua hamba dunia dan akhirat. Aamiien.a

Dear Ayah








Ayah memang selalu begitu, seringkali jalan pikirannya tidak dapat aku mengerti bagaimana. Aku bukanlah tipe anak gadis yang rewel dan manja, karena percuma, aku manjanya sama siapa, ayah tidak pernah memanjakan aku, menuruti apa yang aku inginkan bahkn dari yang terkecil pun. Misalnya, aku ingin punya tas yang dijahit oleh ayah dulu, dijahit oleh tangan ayah,sewaktu aku berumur sembilan tahun, tapi ayah begitu berat untuk mengabulkannya, karena aku benar-benar menginginkannya aku mencari cara agar ayah bisa tahu seberapa besar aku ingin tas kain yang dijahitnya itu.

Hingga subuh itu, aku berpura-pura mengigau, ayah semalaman tidak tidur, karena jika orderan bajunya terlalu banyak bahkan dia jarang sekali tidur malam. Menyelesaika baju orderan itu, semula aku pahamm tapi aku tahu, bagi ayah yang begitu mahir memaiknaan mesin dan benang itu, membuat tas itu tidak butuh waktu berjam-jam, tapi hampir sebulan ayah tidak pernah membuat barang sesederhana itu untukku, hingga akhirnya pura-pura ngingau dengan menyebutkan tas kain itu berhasil, baru ayah membuatkannya untukku, hanya sesederhana itu, aku begitu bahagia.

Jika aku punya keinginan tentang suatu barang yang ada nilainya, aku jarang sekali meminta, karena aku tahu ayah tidak akan membelinya, aku sering mengira ayah tidak punya uang, tapi dari kecil aku sudah mulai jel, membaca keadaan, membaca situasi berapa peghasilan keluar dan masuk,dan tidak jarang aku mengecek dompet ayah, yang isinya tebal. Aku heran kemana uang itu dibawa ayah? Aku tidak berani bertanya, aku diam, aku tumbuh menjadi orang yang menyimpan rasa, tidak terbuka. 

Hingga aku tahu, ayah tidak mebawa kemana-mana uang itu, ternyata ayah bukanlah orang yang pandai memanagement uang, hingga uang itu habis terhambur-hamburkan. Aku kecewa, tapi aku tidak bersuara, dirumah sudah cukup aku seirng dimarahi tentang banyak hal yang aku kira sepele, ayah sering main fisik dulu, hingga aku tumbuh dalam ketakutan, jika ayah akan datang dan membawa ranting itu.

Tapi aku tahu ayah. Dia hero ku, aku harus mengerti dia, meskipun sering aku tidak bisa mengerti, termasuk ketika tiga tahun yang lalu saat aku baru SMA, saat aku sadar tidak ada harapan untukku untuk kuliah, kondisi ayah dan keunagan keluarga sangat mustahil, tapi aku lagi-lagi melirik kesempatan, seorang guru begitu menyemangatiku, katanya ada beasiswa, tapi ayah tidak percaya, katanya beasiswa itu tidak cukup, aku menyakinkannya,  tapi jangankan yakin, malah ayah membuat semangat jatuh tertimpa reruntuhan tembok yang beigitu berat. Aku hilang arah, ayah menjatuhkanku terhempas.

Dan saat impian untuk kuliah itu benar-benar aku kubur, dan aku ingin menuruti tawannya untuk bisa mondok di pesatren temannya, ayah marah, aku semakin tidak mengerti, aku disuruh tinggal di pesantren yang sama, menetap disana  yang sebenarnya keadaannya begitu sakit saat itu, banyak hal yang tidak bisa kujelaskan, suasananya, tempatnya benar-benar membuatku sulit untuk bertahan disana saat itu. Aku bingung.

Jika seandainya mereka tahu kenapa aku begitu ingin kuliah, padahal aku sebanrnya begitu ingin melanjutkan pendidikan ku ke Mudi dan dayah Darussalam tempat ulama kharismatik Aceh itu, itu karena aku tidak melihat sedikitpun peluang untuk kesana, dan aku hanya menyimpan keinginan itu dalam-dalam hingga sekarang, dan aku hanya melihat saat itu adalah pilihan untuk kuliah dengan beasiswa, aku ingin pintar, aku ingi  bisa membahagiakan ayah dan Mamak, aku ingin bisa membahgaikan keluargaku, aku hanya ingin di dukung, dan dimnegerti dan aku tidak akan meminta uang karena aku percaya rezeki itu ada dimana-mana.

Dan saat sekarang Allah telah mentakdirkan aku untuk kuliah, perlahan aku melihat ada yang berubah, sedikit demi sedikti berubah, tapi aku tidak juga mengerti tentang jalan pikiran ayah aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Mamak, atau kau saja yang susah mengerti mereka.

Saat aku ingin terbang, saat aku ingin belajar lagi, saat aku hanya meminta doa restu, saat aku yang hanya didukung, saat aku yang ingin berbakti tapi harus kembali sakit, kenapa, kenapa mereka tidak pernah mengenal siapa aku? Atau aku yang tidak pernah mengenal siapa mereka, mereka ingin aku lebih tapi mereka menahanku.

Bukan, bukan maksudku aku menentang, hanya sudah berapa kali aku kode, aku katakan, jangan seperti itu caranya, justru seperti itu akan membuatku jadi hancur, jadi semakin membangkan. 

Dear ayah, adalah heroku, meski demikan aku adalah tetap beruntung memilikimu, aku menyayangimu karena Allah, dan pada dasarnya aku tidak mengiginkan banyak hal, aku hanya ingin pintar, dan berguna bagi kalian, bagi setiap orang yang aku temui, karena Allah.

Allah bukankan pintu hatiku agar aku mampu menerima segala ketentuanMu, dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Serta aku memohon kepadamu Tuhan yang maha Rahman Rahim bukankan pintu hati kedua orang tua hamba dan jadikan hamba sebagai anak yang engkau mampukan untuk membahagiakan kedua orang tua hamba dunia dan akhirat. Aamiien.a

Sabtu, 03 Maret 2018

Anemia di Bulan Maret

Kemarin anemia kembali menyerangku, darahku terhenti pada jarum 70. Dunia rasanya berputar-putar dan tidak tetap. Mataku sayu dan lelahku bertumpu pada leher. lemah, sehingga menunaikan kewajiban pun harus dengan duduk. Sakit itulah yang aku rasa. Ya, namanya sakit, pasti tidak pernah enak bukan? Tapi selalu ada hal lain yang bisa kita temukan dalam sakit itu.

Kita akan tahu, dan jelas sekali rasa sayang itu ada, kakak yang sering sekali saling membuat kesal, mamak yang juga tidak kalah cerewet, semuanya begitu takut kita sakit, mereka begitu peduli hingga alasan untuk menyerah dari semua mimpi-mimpi itu tidak pernah ada celahnya.

Dan kemarin, saat aku rasakan darahku tidak bertumpu apda 70 lagi, aku ditelpon oleh seseorang, telpon yang mengajakku untuk mengajar, mengajar disebuha mesjid icon kota itu, ikon kota kecilku yang dulu sampai sekarang aku mempunyai keinginan untuk bisa menjadi ustazah di mesjid dan pada kesempatannya ada, meski darahku masih rendah, dunia masih sedikit berputar-putar tapi aku tetap bersemagat untuk melangkahkan kakiku kesana.

Meskipun kadang terlihat aneh, lucu dan unik, aku yang begitu tergila-gila dengan itu semua. Tapi itulah, aku. Jika mereka tahu, apa sebenarnya yang aku ingninkan dari semua itu, untuk permataku dan untuk masa depanku tentunya yang semuanya karena Allah. Aku percaya meski tidak mudah Allah akan memudahkan, Allah akan menunjukkan jalan yang paling baik dan semoga Allah selalu mengikhlaskan aku terhadap ketentuan apa saja yang di tetapkannya untukku, karena aku percaya Allah sangat menyayanig hambaNya, Allah menyayangiku.

Tahun Baru Hijrah

Pagi masih begitu buta, matahari baru saja bersiap untuk menyonsonng hari baru di tahun baru, masih dalam suasana Muharram. Bulan Hijrah ya...